Trend Konyol Dunia Literasi: Book Shaming – Tanpa Sadar Kita Sering Melakukannya
Pernah nggak Sobat Ahya ngerasa minder saat menyebut buku favoritmu? Entah itu karena rasa takut dianggap tidak berkualitas atau ... justru kamu sendiri pernah memandang sebelah mata seseorang karena jenis bacaan mereka? Jika iya, kamu mungkin pernah bersinggungan dengan fenomena yang disebut book shaming.
Memangnya, apa sih book shaming itu?
"Serius kamu suka baca komik di usia sekarang? Nggak cocok tahu."
Kalian pernah mendengar kalimat itu? Aku pernah. Bahkan seseorang dari keluargaku menegurku gara-gara komik yang sedang kubaca di usia 22 tahun. Hal itu melukai egoku, malu, dan nggak berani lagi membaca komik untuk waktu yang lama. Selain itu juga aku membaca postingan X beberapa waktu lalu yang menggegerkan jagad dunia maya. Kurang lebih begini:
"Generasi Gen Z yang membaca Tereliye dan Fiersa tidak mengenal Pramoedya Ananta Noer."
Tentu saja respons dari tulisan itu beragam dan menimbulkan kerusuhan. Membandingkan buku yang dibaca, menghakimi genre bacaan, tidak menunjukkan kamu memiliki nilai lebih. Justru menunjukkan betapa sempit dan kakunya pola pikir seperti itu. Contoh lain yang lebih familier:
"Baca nonfiksi atuh biar pinter."
Lantas, mengapa book shaming bisa terjadi?
- Merasa Lebih Superior
Mereka merasa selera bacaan mereka dianggap lebih berkualitas dan pintar daripada buku yang lebih ringan dan populer. - Kurang Paham Tentang Genre
Mereka menganggap buku ya sama aja buku! Mereka belum paham setiap jenis buku membawa nilai dan tujuan yang berbeda. - Tekanan Media Sosial
Banyak yang berekspektasi tinggi terkait buku tertentu. Buku-buku apa yang layak dan pantas dibaca, diulas, dan direkomendasikan. Menganggap buku-buku tertentu lebih prestisius. Keberadaan sosial media membuat book shaming lebih mudah terjadi dengan adanya bebas berkomentar di postingan ulasan buku. Tanpa sadar menyebar opini pribadi yang membuat orang lain tidak dihargai dan merasa rendah.
Book Shaming dan Dampaknya bagi Pembaca
- Membuat Orang Malu Membaca:
Banyak orang jadi ragu untuk menunjukkan buku yang mereka baca, bahkan bisa kehilangan minat membaca karena takut dihakimi.
- Menyempitkan Ruang Literasi:
Komunitas literasi seharusnya inklusif dan mendukung semua jenis pembaca. Tapi dengan adanya book shaming, ruang ini jadi eksklusif dan tidak ramah.
- Menghambat Kebebasan Berekspresi:
Setiap orang punya hak untuk membaca apa yang mereka suka. Book shaming bisa menghilangkan kebebasan ini dengan menanamkan rasa takut akan penghakiman.
- Menciptakan Lingkungan yang Tidak Sehat:
Dalam komunitas literasi, book shaming bisa menimbulkan perpecahan dan persaingan yang tidak sehat. Padahal, tujuan utama membaca adalah menikmati dan belajar, bukan berkompetisi.
Bagaimana Menghindari Book Shaming?
Mengingat dampak yang terjadi sebegitu mengerikan, penting untuk mulai menghindari kebiasaan book shaming. Mungkin, beberapa cara ini perlu dicoba secara bertahap:
- Menghargai Pilihan Orang Lain:
Ingat, setiap orang punya preferensi masing-masing. Buku yang menurutmu kurang menarik bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.
- Pahami Fungsi Setiap Buku:
Tidak semua buku harus berat dan intelektual. Ada buku yang ditulis untuk hiburan, motivasi, atau sekadar pelarian dari rutinitas. Semua itu sah-sah saja.
- Jangan Memberi Label Negatif:
Hindari melabeli buku atau genre tertentu dengan stereotip. Setiap buku punya nilai uniknya sendiri.
- Fokus Pada Hal Positif:
Alih-alih mengkritik buku yang tidak kamu suka, coba beri apresiasi pada usaha seseorang untuk membaca, terlepas dari jenis bukunya.
- Jadilah Pendukung, Bukan Hakim:
Sebagai pembaca, tugas kita adalah mendukung sesama untuk terus membaca, bukan menghakimi pilihan mereka.
Serunya Merayakan Keberagaman dalam Membaca
Dunia literasi tak selebar daun kelor, ada banyak buku untuk banyak pembaca. Setiap buku memiliki pembacanya sendiri dan setiap buku akan bermanfaat bagi pembacanya masing-masing. Daripada terjebak dalam lingkaran book shaming, yuk, putus mata rantai itu dengan fokus pada pertumbuhan diri sendiri. Nikmati keragaman yang ada.
Bung Hatta pernah berkata,
"Aku rela dipenjara asalkan bersama dengan buku, karena dengan buku aku bebas."
Beliau dengan berani mengatakan bahwa dia merdeka hanya dengan membaca. Loh, kok kita yang sudah maju teknologinya masih senewen dengan kemerdekaan orang lain? Ya, nggak sih!
Kalau kamu suka postingan kayak begini, aku suka membahasnya di page aku, yuk follow untuk lebih update lagi~
Jangan lupa baca juga:
Ingin Membaca Buku, Tetapi Tidak Memiliki Buku
5 Alasan Mengapa AhyaBee Menulis Fiksi, Poin Terakhir Membuatmu Tak Habis Pikir